***********************************************
"Kak Shafa !"
Ku alihkan pandanganku dari layar ponselku dan melihat adikku, Saktia, atau yang biasanya kupanggil "Via".
"Ya, ada apa Via?," aku tersenyum dan mengusap lembut kepalanya, lalu mencium keningnya lembut. Oh iya, perkenalkan, namaku Fakhriyani Harrya Shafariyanti, nama panggilanku adalah Shafa. Aku memiliki seorang adik angkat yang sangat cantik dan baik serta lemah lembut bernama Saktia Oktapyani. "Kakak, antarkan aku ke sekolah hari ini ya? Ya?" ujar Via memohon padaku.
"Ha? Kenapa tidak bersama supir saja? Badan kakak agak pegal, akibat safe running kemarin," aku menggarukkan kepalaku. Via memancarkan wajah cemberutnya padaku, "Aku tidak mau di antar oleh supir," kata Via memelas, "Entah kenapa, rasanya aku ingin di antarkan oleh kakak saja."
"Kumohon, antarkan aku ya?" ujar Via sambil memasang wajah melasnya. Aku berpikir sebentar, setelah berpikir, aku memutuskan untuk mengantarnya, daripada ia merengek terus-terusan. "Baiklah, aku akan mengantarmu, princess," senyum sumringah terpancar dari wajahnya. "Hore !!!" pekik Via senang. "Sudah mandi kan?" tanyaku pada Via. Via mengangguk, "Iya, aku sudah mandi."
Aku pun mencium bau tubuhku sendiri. Setelah mencium bau tubuhku yang menyengat, aku tertawa keras karena aku satu-satunya yang belum mandi. "Tunggu di sini ya, aku mandi dulu," Via mengangguk. Setelahnya, aku pun mengambil handuk dan pakaianku. Setelah itu, aku pun mandi.
Setelah selesai mandi, dengan sabarnya Via menungguku di sofa. Aku segera mengambil kunci mobilku dan menghampiri Via. "Ayo berangkat," Via mengangguk dan berdiri lalu mengikutiku.
.
.
.
~Sekolah Via
Setelah beberapa jam perjalanan, aku pun akhirnya sampai di sekolah Via. Aku mengantarkan Via sampai gerbang sekolahan. "Sekolahnya yang rajin ya, jangan berbuat apapun. Kakak tidak mau kalau aku sampai mendengar berita tidak enak dari sekolahmu, oke?" ujarku memperingati Via. Via mengangguk mengerti dan menyalami tanganku. "Dadah kakak, kakak yang semangat ya ! Via sayang kakak," teriak Via sembari melambaikan tangannya padaku. Aku pun membalasnya.
Aku sangat sayang pada Via, karena dia adikku satu-satunya. Karena itu, aku ingin sekali menjaganya dari pergaulan bebas anak muda zaman sekarang yang ku anggap "budi daya yang tidak pantas". Setelahnya, aku pun pergi menuju tempat kuliahku.
.
.
.
~Universitas Shafa
Aku pun masuk ke area gedung. Sebenarnya, para mahasiswa dan mahasiswi fakultasku di liburkan. Tetapi, aku, senior Rona, senior Hanna, senior Natalia, senior Viny dan Rifkie berkumpul di sini untuk reunian. Tidak lama kemudian, Rifkie pun datang dan langsung menghampiriku.
"Shafa, sudah sampai duluan rupanya kau. Bagaimana kabar Via?" tanya Rifkie padaku.
"Via? Dia baik-baik saja kok" jawabku.
"Hmm, baiklah" tambah Rifkie.
Hingga perkumpulan selesai, aku segera menancap gas mobilku menuju sekolah Via untuk menjemputnya. Setibanya aku di sekolah Via, Via tak kunjung keluar. Hingga salah satu teman sekelas Via, Dena datang menghampiriku.
"Kak Shafa? Mau menjemput Via, ya?" tanya Dena padaku.
"Iya, betul. Kau lihat Via tidak?" tanyaku.
"Setahuku, tadi Via pulang dengan seorang laki-laki" jawab Dena.
'Via pulang dengan orang lain? Tidak mungkin' batinku.
"Ooh, begitu. Terima kasih Dena" ujarku lalu bergegas menuju rumah.
.
.
.
~Rumah Via & Shafa
Setibanya aku di rumah, kulihat Via sedang duduk membaca novel.
"Kau pulang dengan siapa?" tanyaku sedikit emosi.
"Dengan teman kakak tadi" jawab Via sedikit gugup.
"Siapa ?!" tanyaku mulai emosi begitu mengetahui bahwa Via pulang dengan orang lain.
"Kak Rifkie, maaf ya kakak… Tadi aku terburu-buru" jawabnya sembari menundukkan kepalanya.
"Bukankah sudah kuperingatkan, jangan pulang dengan orang lain kecuali supir atau kakak sampai kau benar-benar bisa menjaga dirimu sendiri? Aku tidak melarangmu, tetapi, aku cuma takut kalau sampai sesuatu yang tak diharapkan menimpamu !" ujarku memarahinya. Via hanya menundukkan kepalanya seperti menyesal. Samar-samar, aku mendengarnya bergumam, "Maafkan aku, kak Shafa."
[BRAK !!!]
Kubanting pintu kamarku dengan emosi yang tidak dapat ku kontrol lagi. Aku memang selalu memperingati Via untuk tidak dekat-dekat dengan laki-laki, terutama lelaki hidung belang. Aku juga membatasinya untuk tidak mendekati Rifkie. Kenapa? Karena aku pernah mendengar gosip dari senior-seniorku bahwa Rifkie pernah berselingkuh dari senior Melody dengan senior Nadila. Rifkie terkenal sebagai playboy yang memiliki banyak mantan. Contohnya adalah senior Melody, senior Nadila, senior Tata, senior Stella, senior Cindy, senior Uty dan bahkan para junior di universitasku pun diselingkuhinya. Sungguh bodoh, bukan? Bahkan, senior Uty yang menjadi korban selingkuhnya pun sangat benci padanya dan hampir ingin bunuh diri.
Di saat aku sedang merenungkan diri, tiba-tiba, Via membuka pintu kamarku yang saat itu tidak ku kunci.
"Kak Shafa…" panggil Via. Ku alihkan pandanganku dan melihatnya. Via hanya menundukkan kepalanya.
"Maafkan aku kak…" tambahnya. Aku berbalik arah menghampirinya dan berdiri di depannya. Saat ia ingin menangis, kupeluk tubuhnya dan membelai rambut hitamnya yang panjang.
"Maafkan kakak juga ya Via, aku sudah kasar padamu. Aku hanya tidak mau kau sakit hati hanya karena cinta, aku juga tidak kau ingin di permainkan oleh Rifkie. Aku sayang padamu Via" ujarku menenangkan Via.
"Aku mengerti kak, aku juga sayang kakak" ujar Via sembari meneteskan air matanya di bahuku.
"Ssst…. Jangan menangis lagi Via, tidak apa-apa kok. Mana senyummu? Kalau begini kau jadi jelek, hahaha" ujarku sembari menghapus air matanya. Via memasang wajah cemberutnya lagi.
"Ini semua gara-gara kakak tahu," Via memanyunkan bibirnya.
"Ayo, kita makan bersama saja kak, kita belum makan malam."
"Oke."
Setelah itu, kami makan berdua. Selesai makan malam, aku kembali ke kamarku dan tidur.
.
.
.
Keesokan harinya….
Hari esok pun telah tiba. Aku dan Via sudah bersiap dan kutancap gas mobilku pergi ke sekolah Via.
.
.
.
~Sekolah Via
Setibanya di sekolah Via, Via langsung turun dari mobil. "Kakak, nanti jemput aku jam 14 ya? Aku ada latihan drama untuk Pentas Akhir Tahun" ujar Via saat ia turun dari mobil.
"Oke, tapi, sisipkan uang jajanmu untuk di tabung. Pakai saja seperlunya dan jangan boros, oke?" ujarku memperingati Via. Via mengangguk mengerti.
"Baiklah, kakak hati-hati ya di jalan. Aku sayang kakak" ujar Via sembari menyalim tanganku lalu berlalu. Setelah itu, aku pun menancapkan gas mobilku bergegas menuju universitasku.
.
.
.
~Universitas Shafa
Setibanya aku di fakultas, aku segera melangkahkan kakiku menuju mesin penjual minuman otomatis. Setelah aku mendapatkan minumanku, aku segera berjalan menuju taman di depan fakultasku untuk menunggu para senior. Kami sudah janjian untuk berkumpul bersama dan menjenguk senior Viny yang sedang sakit hari ini. Sementara aku membalas pesan dari Nadhifa, tiba-tiba, Rifkie datang dan menepuk pundakku.
"Halo, Shafa. Mana Saktia?" tanya Rifkie dengan nada jahil. Aku hanya terdiam menatap wajahnya. Ku habiskan minumanku lalu membuangnya di tempat sampah di samping bangku taman.
"Bisa berhenti mendekati Via?" ujarku agak emosi. Ekspresi Rifkie berubah. "Maaf?" ujarnya sembari menggaruk kepalanya. Ku taruh ponselku di saku jaketku.
"Kubilang, bisa berhenti mendekati Via, adikku?" ujarku serius setengah emosi. Rifkie mendengus lalu duduk di sampingku. Aku tidak memandanginya. Karena aku benci wajahnya.
"Memangnya kenapa kalau aku dekat-dekat dengan Saktia? Kau cemburu, ya?" tanya Rifkie memulai candaannya. "Aku tidak cemburu, aku hanya tidak mau adikku dekat-dekat dengan laki-laki playboy brengsek sepertimu. Dia masih kecil, dia belum mengerti tentang cinta-cintaan. Aku tidak mau dia menangis hanya karena perbuatanmu yang tidak manusiawi. Kalau kau sampai berani melakukan itu, akan kubunuh kau. Mengerti, playboy?," ekspresi wajah Rifkie menjadi seperti kecewa.
"Kau terlalu mengekangnya, Shafa ! Seharusnya kau membiarkan Saktia merasakan apa itu yang namanya 'cinta', apa itu yang di sebut dengan 'cinta pertama', apa itu 'seks'. Apa kau sadar bahwa kau terlalu mengekang hidup Saktia?" ujar Rifkie sok menghakimiku.
"Justru karena itu, aku melakukannya karena aku sayang padanya ! Aku tidak mau Via dekat dengan playboy brengsek sepertimu, kau hanya bilang 'sayang' pada orang yang kau taksir, tetapi, begitu ada gadis yang lain kau langsung selingkuh ! Karena itu, aku membatasi pertemuan Via denganmu Rifkie. Harusnya kau yang sadar akan hal itu ! Hal yang kau bilang 'selingkuh' itu adalah hal yang dosa, memangnya kau tidak malu ya? Dimana letak urat malumu, HA?" ujarku emosi.
Rifkie hanya memasang wajah santainya, tidak menunjukkan sikap ia malu melakukannya. "Baiklah kalau itu maumu Shafa, aku takkan pernah mendekatimu maupun Saktia. Kau puas kan sekarang?" ujar Rifkie santai dan pergi berlalu. Tetapi, aku tidak peduli padanya. Semenjak insiden hari ini, aku dan Rifkie tidak pernah saling kontak-mengontak lagi. Aku menyimpan rasa kecewa padanya yang justru tidak ingin bertobat atas kelakuannya yang kuanggap membuat Tuhan malu dengan ciptaan-Nya yang sepert ini.
.
.
.
~Rumah Via & Shafa
Setibanya aku di rumah, kulihat Via sedang mengerjakan tugas dengan temannya, Sisil, Nobi, dan juga Dena di ruang tamu. Aku ke ruang tamu dan mengirim pesan pada Nadhifa yang tadi tak sempat kubalas karena aku menjenguk senior Viny.
"Kau sudah pulang, Via?" tanyaku.
"Iya, aku sudah pulang. Aku bawa Sisil, Nobi dan Dena ke rumah, tidak apa-apa kan kak?" jawab Via. Via terkadang memainkan ponselnya dan terkadang tertawa sendiri dan senyum-senyum. Aku agak curiga karena biasanya jika Via membuka sosial media maupun membalas pesan singkat dari teman-temannya tidak seperti itu.
"Siapa itu yang kau SMS?" tanyaku sembari menghampirinya.
"Eh? Bu… Bukan apa-apa kok kak" ujar Via sambil cengar-cengir sendiri dan menekan ponselnya cepat.
"Benar?" jawabku sinis.
"Benar kok, bukan kak Rifkie ! Tenang saja, aku sedang mengirim SMS pada Kariin" ujar Via gugup.
Aku hanya menggarukkan kepalaku bingung, "Baiklah, aku ke teras dulu ya."
Saat aku membuka pintu dan berjalan menuju teras, tiba-tiba, ada seorang gadis berwajah tsundere dan bermata sipit bak orang China keturunan Jepang. Sepertinya, dia teman Via yang namanya Delia. Tetapi, aku jarang melihatnya.
"Kak Shafa…" panggil seseorang padaku.
"Eh? Siapa kau?" tanyaku sembari menaikkan alisku sebelah.
"Ssst, bicaranya pelan-pelan saja. Apa Via ada?" sahutnya sembari berbicara pelan.
"Via? Dia ada di rumah kok. Memangnya kenapa?" jawabku penasaran.
"Bicaranya di sini saja, kak Shafa" ujarnya memanggilku keluar.
Aku melihat kanan dan kiri memastikan tidak ada yang melihatku. Setelah aku memastikan keadaannya tenang, aku pun masuk ke semak-semak dimana gadis itu berdiri.
"Ada perlu apa?" tambahku.
"Sebelumnya, perkenalkan, namaku Delia Erdita. Aku teman satu kelas dengan Via, di kelas 1-A. Sejujurnya, aku tertarik pada Via dan aku selalu memantaunya di sekolah. Apa kak Shafa tahu jam berapa Via pulang?" ujar Delia yang membuatku penasaran.
"Sekitar jam empat belas siang, karena dia ada latihan drama untuk Pentas Akhir Tahun. Memangnya ada apa Delia?" tanyaku pada Delia.
"Begini, ada yang ingin kutunjukkan pada kak Shafa," Delia mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sebuah foto padaku. Aku tidak bisa berkata apa-apa saat melihat foto Via sedang berduaan dengan Rifkie si playboy brengsek itu di taman di depan fakultasku.
"Jadi, hari ini tidak ada latihan drama untuk Pentas Akhir Tahun. Aku melihat laki-laki itu menjemput Via dan aku mengikutinya karena aku penasaran. Dia membawa Via ke sebuah taman di depan fakultas kakak. Kulihat Via dan laki-laki tersebut saling berpegangan tangan. Kupikir kakak sudah tahu soal ini. Maaf ya kak Shafa aku menceritakan soal seperti ini pada kakak, aku takut jika Via membohongi kakak."
Aku masih tercengang dengan foto yang baru saja Delia perlihatkan padaku. Aku tidak percaya, bukankah playboy brengsek itu sudah berjanji padaku untuk tidak mendekati Via? Rupanya, Rifkie membuat janji manis dan melanggar janji tersebut. Sialan, kenapa aku harus percaya kalau akhir-akhirnya Rifkie akan berjalan berduaan dengan Via?
"Baiklah, terima kasih atas buktinya Delia. Sekarang, pulanglah ke rumahmu. Sekali lagi, terima kasih atas bukti yang telah kau beritahukan padaku."
Saat aku berniat mengirim pesan kepada Rifkie, tiba-tiba….
[GUBRAK !!!]
"KYAAAAA ! VIA !!!!!" terdengar suara teriakkan Dena dari arah ruang tamu. Dengan cepat, aku berlari menuju ruang tamu.
"Dena ! Ada apa ?!" teriakku begitu membuka pintu.
Aku tercengang saat melihat Via tergeletak dengan kepalanya yang mengucurkan darah segar yang cukup banyak. Terlihat dari wajahnya yang pucat, aku bisa melihat Via sangat menderita.
"VIA !!!!" pekikku terkejut. Aku segera menghampiri Via yang merintih kesakitan. "Via, kau tidak apa-apa ?!" tanyaku panik. Via hanya melihatku sekilas, darah dari dahinya mengucur deras. "Kak… Sha… Ffa…." lirih Via memanggil namaku lalu menutup matanya tak sadarkan diri.
Aku segera membopong Via. "Nobi ! Tolong panggilkan supirku !" perintahku. Nobi segera berlari dan memanggil supirku. Aku membopong Via dan berlari keluar diikuti oleh Dena dan Sisil. Saat mobil sedanku datang, aku segera memasukkan Via ke bagian belakang mobil. Setelah itu, kami segera berangkat menuju Rumah Sakit.
.
.
.
~Rumah Sakit
Setelah beberapa jam kami menempuh perjalanan, akhirnya kami tiba juga di Rumah Sakit. Via pun segera dibawa ke ruangan untuk di periksa. Saat aku, Nobi, Sisil dan Dena duduk di ruang tunggu, Dena tak henti-hentinya menangis.
"Huuu huuu….. Vvi… Aaa… Hiks hiks," Dena menangis tersendu-sendu. Aku merasa kasihan pada Dena. Ku geser posisiku hingga aku dekat dengan Dena, lalu, kupeluk Dena. Ku elus-elus rambutnya. Dena membalas pelukanku. Kubiarkan dia menangis di bahuku. Aku tak peduli jika bagian bahu di bajuku basah, aku mengerti perasaan Dena. Sebenarnya, aku ingin menangis. Tetapi, aku harus kuat dan tabah menghadapi ini semua. Aku tidak ingin menangis di hadapan Via.
Tidak lama kemudian, senior-seniorku di fakultas pun datang. Senior Rona, senior Natalia, senior Hanna, senior Viny, senior Lidya dan senior Ikha langsung duduk di ruang tunggu. "Yang tabah ya, Shafa, pasti Yang Maha Kuasa akan membawa mukjizat. Walau kita tak tahu kapan Ia memperlihatkan mukjizat-Nya," senior Viny menepuk punggungku. Aku hanya mengangguk mengerti. "Ya Tuhan, selamatkanlah Via…. Kabulkanlah do'a-ku ini Ya Tuhan. Amin…" do'aku dalam hati sembari menundukkan kepalaku.
Beberapa menit kemudian, dokter Delima pun keluar.
"Siapa di antara kalian yang bernama Fakhriyani Harrya Shafariyanti?" tanya dokter Delima. Aku mendongakkan kepalaku, "Saya Fakhriyani Harrya Shafariyanti."
"Shafa, kondisi adikmu, Saktia dalam kondisi kritis. Dia kehilangan sebanyak 50% darahnya karena terus mengucur tanpa henti. Rumah Sakit kami juga kehabisan stok darah. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Saktia yaitu mendonorkan darahnya untuk Saktia. Tetapi, resikonya si pendonor akan meninggal. Tetapi, di sini nyawa Saktia juga di pertaruhkan" jelas dokter Delima.
Aku menundukkan kepalaku. Aku merenungkan semua kesalahanku selama ini. Untuk apa sebenarnya kuhidup? Aku memang agak kasar pada Via. Aku kasar dan marah pada Via bukan berarti aku benci pada Via, tetapi, aku sayang pada Via. Aku merasakan air mataku mengalir dari pelupuk mataku.
"Saya bersedia !" ujarku sembari menundukkan kepalaku dan menangis. Dokter Delima, Nobi, Sisil, Dena, dan para senior-seniorku yang berada di ruangan ini terkejut.
"Kak Shafa, tapi….."
"Sudah Dena, aku sayang pada Via. Nobi, Sisil, dan Dena, aku serahkan soal Via pada kalian bertiga. Kumohon, jagalah dia baik-baik. Aku sudah terlalu banyak menimpa beban dan aturan pada Via yang terlalu mengekangnya. Cita-citanya sangat mulia, dia ingin menjadi dokter yang bisa menyembuhkan setiap orang dan membuat mereka tersenyum. Aku tidak mau Via pergi sekarang. Kalau Via pergi sekarang, itu sama saja Via membuang impian dan cita-citanya di sini, kan?" ujarku sembari menangis keras. Senior Viny, senior Ikha, dan senior Natalia memelukku.
"Tetapi, beri aku waktu sebentar dokter Delima. Izinkan aku menulis surat untuk Via," dokter Delima mengangguk. Aku pun menulis surat dalam kertas buku. Selesai menulis surat, kumasukkan surat itu ke dalam sebuah amplop.
"Maafkan aku ya, Via…. Aku tidak bisa menemanimu lagi. Maaf kalau aku banyak salah ya, maafkanlah diriku Via, aku ingin kau hidup bahagia dan menjadi dokter yang menyelamatkan banyak jiwa dan raga, serta membawa mukjizat yang mampu membuat orang lain tersenyum. Aku sayang padamu, Saktia" ujarku lalu mencium keningnya lembut. Meskipun air mataku mengalir deras, aku tidak peduli. Yang kupedulikan adalah nyawa dan keselamatan Via.
"Tuhan…. Jaga adikku, buat dia selalu di jalan-Mu. Mudahkanlah dia dalam melakukan hal kebaikan, jauhkanlah dia dari segala keburukan, dekatkanlah dia dengan cita-citanya yang mulia itu. Aku berterima kasih kepadamu Tuhan, berkat-Mu, aku memiliki adik seperti Via. Terima kasih untuk memberikanku Via Tuhan, bagiku, Via adalah yang terbaik…. Jagalah dia baik-baik dan berikanlah dia jodoh yang sesuai keinginannya…. Biarkanlah dia mendapatkan cinta pertamanya…. Amin…" do'aku dalam hati. Setelahnya, aku pun berjalan menuju ruang operasi.
Dokter Delima dan para dokter asing lainnya mulai menyuntikkan berbagai obat yang asing ke dalam tubuhku dan membiusku. Meskipun tubuhku sudah di bius, aku masih bisa merasa seluruh darahku seperti tersedot ke dalam tabung darah yang akan di donorkan untuk Via. Sakitnya memang tak tertahankan, tetapi, aku tetap berjuang. Karena darahku ini kuwariskan pada adikku tercinta, Saktia Oktapyani. Aku merasa darahku hampir habis. Setelah beberapa detik kemudian, aku pun menghembuskan nafas terakhirku. Aku sudah berjuang, demi Via. Air mataku pun mengalir lagi. Maafkan aku, Saktia…..
.
.
.
Setelah prosesi pendonoran darah selesai, Via pun membuka matanya walaupun kepalanya sedikit pusing.
Di sebelah ranjang, Via melihat Dena yang sedari tadi menggenggam tangannya seperti menahan tangisannya sambil menggigit bibir bawahnya. "Dena? Kenapa kita ada di sini? Bukankah…. Seharusnya kita ada di rumahku dan mengerjakan tugas?" tanya Via yang baru sadar.
"Dena, Sisil, Nobi, dimana kak Shafa?" tanya Via yang mencari sosokku di antara mereka bertiga. Dena memeluk erat tubuh Via yang masih lemah. "Yang sabar ya Via, kak Shafa sudah tidak ada di sini" ujar Dena tersenyum sambil meneteskan air matanya. Setengah air matannya bahagia, dan setengah air matanya lagi bersedih.
"Ti… Tidak ada? Kumohon, berhentilah bercanda Dena" ujar Via. Nobi dan Sisil memeluk Via. Via melihat ke arah sampingnya. Via melihat tubuhku yang sudah kaku dan tak bernyawa lagi. "Kak Shafa? Kak Shafa !" teriak Via lalu melepas jarum infus yang menancap pada tangan kirinya lalu berlari ke arahku. Via melihat wajahku dari dekat. Via pun melihat wajahku yang sudah memucat dengan senyuman terindahku. Via meneteskan air matanya. Via memeluk tubuhku yang sudah kaku dan meneteskan air matanya yang perlahan membasahi tubuhku yang sudah dingin nan kaku, "Hiks, hiks…. KAK SHAFA !!!!"
Dari belakang, Dena memeluk Via erat-erat, "Sudah Via, tak apa. Kak Shafa hidup bersamamu, darahnya mengalir pada tubuhmu."
Nobi pun menyerahkan surat dariku untuk Via yang kutulis sebelum kepergianku pada Via, "Ini dari kak Shafa, bacalah Via."
Via pun membuka surat tersebut.
"Via adikku sayang…..
Bagaimana kondisimu sekarang?
Apa kau sehat setelah menerima darahku, Via?
Maaf, aku pergi menyusul Ayah dan Ibu lebih dulu….
Aku tidak ingin melihatmu terbaring lemas yang membuatku menjadi tak berdaya…
Via….
Maaf ya…
Aku sudah mengekang hidupmu, dengan melarangmu segala sesuatu. Seperti melarangmu berpacaran, berjalan berdua dengan para laki-laki, membatasimu untuk berbicara dengan Rifkie, temanku…..
Aku hanya tidak mau melihatmu menangis hanya karena hal sepele, karena cinta, dan karena kau di selingkuhi oleh laki-laki, di cabuli oleh lelaki hidung belang. Aku tidak mau kau mengeluarkan air mata berhargamu hanya karena itu semua…
Via….
Kejarlah impianmu. Kau pernah bilang padaku kalau kau ingin menjadi dokter dan menyelamatkan banyak jiwa dengan bantuan mukjizat dari Tuhan dan mukjizat yang kau buat sendiri, kan?
Darahku sekarang kuwariskan padamu dan mengalir dalam tubuhmu. Maafkan aku ya Via, kalau aku selalu memarahimu jika kau pulang dengan lelaki. Sejujurnya, aku takut jika para lelaki yang mengajakmu pulang itu mencabulimu, memperkosamu hingga kau sekarat, dan membunuhmu.
Buatlah aku, almarhum Ayah dan almarhuma Ibu bangga padamu. Sejauh ini, kau sudah membuatku bangga padamu. Aku bersyukur kau telah lahir untukku, untuk keluarga ini….
Aku yakin kelak suatu saat nanti kau bisa menjadi dokter yang hebat seperti dokter Delima, dan menolong semua orang dengan bantuan mukjizat dari Tuhan dan mukjizat yang kau buat sendiri.
Aku sayang padamu, Saktia."
Air mata Via makin menjadi. Via tak kuasa menahan tangisannya karena sosok yang selama ini melindunginya, membimbingnya, menjaganya dan menemaninya dalam suka dan duka telah pergi meninggalkannya sendirian.
"Kak Shafa…. Aku sayang kakak… Kenapa kakak… Harus pergi secepat ini?" ujar Via kembali meneteskan air matanya di kertas putih yang berisikan kalimat dariku untuknya.
.
.
.
Keesokan harinya, senior-senior dari fakultasku, Via dan teman-temannya datang untuk mengantarkanku ke tempat peristirahatan terakhirku.
Tangisan dari senior-senior dari fakultasku yang dekat denganku, Via dan teman-temannya tak terbendung lagi ketika tubuhku di tutupi dengan tanah. Cuaca saat itu mendung, Tuhan pun turut berduka cita atas kepergianku yang merelakan darahku agar Via tetap hidup. Via tak bisa berhenti menangis dan bahkan saat prosesi sudah selesai, Via masih menangis dan memeluk batu nisan yang bertuliskan nama lengkapku.
"Kakak, aku sayang padamu. Aku tahu kakak sayang padaku, aku tidak marah jika kakak melarangku. Karena aku tahu kakak melakukan itu semua demi kebaikan untuk aku. Kakak istirahat yang tenang ya di sana…. Sebelumnya, maafkan aku ya kalau aku pernah membohongi kakak. Aku janji, aku akan mendengarkan kata-kata dari teman-temanku dan senior-senior kakak. Do'akan aku dari atas sana ya kakak… Aku akan menjadi dokter yang hebat seperti dokter Delima. Terima kasih ya kakak atas perhatianmu selama ini…. Dan… Darah ini, darah yang kakak wariskan padaku akan kujaga baik-baik sehingga sampai ada yang membutuhkannya. Aku akan membuat kakak bangga padaku. Jadi… Awasi aku dari atas sana ya kak…. Aku sayang kakak" ujar Via sambil tersenyum dan berdiri perlahan-lahan.
Via dan yang lain pun meninggalkan taman pemakaman. Kupeluk Via dari belakang. Meskipun Via tidak menyadarinya, tetapi Via menyilangkan tangannya da menggenggam kedua tanganku. Kulepas kedua tanganku secara perlahan. Via dan yang lain lanjut berjalan meninggalkan tempat ini.
Aku sayang padamu, Saktia……
~The End~